Sederet Kearifan Lokal Warga dalam Perangi Corona, Jalani Ritual hingga Masak Sayur Lodeh 7 Rupa
Masuknya virus corona ke Indonesia membuat warga melakukan berbagai cara untuk mengantisipasi penyebarannya. Selain mengikuti anjuran pemerintah, mereka juga memiliki cara tersendiri dalam melindungi diri. Tak sedikit yang menjalankan ritual adat yang mereka percayai untuk mencegah penularan virus corona.
Para warga di berbagai daerah memiliki cara yang berbeda beda. Mulai dari ritual doa hingga membuat masakan untuk penolak bala. Seperti yang diketahui, penyebaran virus corona di Indonesia terbilang cukup cepat.
Sampai hari Selasa 14 April 2020 pagi, ada 4557 kasus pasen positif virus corona. Dari 4557 pasien, 399 orang meninggal dunia akibat menderita Covid 19. Sedangkan 380 diantaranya telah dinyatakan sembuh.
Untuk menghindari penularan virus corona, berikut beberapa kearifan lokal warga untuk mencegahnya. Di wilayah adat Banualemo diSulawesi Selatan, para perempuan bergotong royong meracik cairan desinfektan alami berbahan daun sirih dan jeruk nipis. Cairan itu digunakan sebagai bahan penguapan di sebuah tempat yang mereka sebut 'bilik sterilisasi', yang dibangun oleh para pemuda.
Baso', anggotamasyarakat adatBanualemo yang tinggal di Desa Bone Lemo, Bajo Barat, Luwu, Sulawesi Selatan, menuturkan cara ini adalah ilmu yang dianjurkan oleh leluhur secara temurun untuk membasmi kuman dan penyakit yang kemudian dimodifikasi sesuai perkembangan zaman untuk memerangi virus corona yang mulai mewabah. "Kita dari awal tidak menginginkan menggumakan bahan kimia untuk manusia. Dulu pengobatan menggunakan dengan model pengasapan, ini yang kita modifikasi pengasapannya," ujar Baso' kepada BBC News Indonesia . Dia menjelaskan jika dulu pengasapan menggunakan tungku, kini masyarakat adat Banualamo di desa Bone Lemo memodifikasinya dengan menggunakan "penguap burung walet".
"Kita membuat itu dan meminta semua warga untuk melakukan pengasapan atau istilah populer yang kita pakai hari ini, bilik sterilisasi," kata dia. Dalamtradisimasyarakat adat Banualemo, jika ada warga yang sakit biasanya langsung diobati oleh tabib dengan diasapi cairan berbahan daun sirih dan jeruk nipis. Selain untuk mengobati penyakit, metode penguapan daun sirih dan jeruk nipis ini juga digunakan bagi perempuan yang akan menikah dengan tujuan penyucian diri dan mengusir roh jahat.
"Mungkin makhluk halus yang disebut nenek kita mungkin termasuk jenis virus, tidak kelihatan," tutur Baso. Baso mengatakan, masyarakat adat Banualemo memutuskan untuk melakukan tradisi pengobatan leluhur karena banyak warganya yang mulai waspada akan virus corona, yang telah menjangkiti lebih dari 3.200 orang dan menewaskan setidaknya 280 orang di Indonesia. "Kalau beberapa orang yang sudah sangat tua diceritakan tentang corona, mereka seperti agak ketahukan karena mereka pernah mengalami belum selesai dikuburnya satu orang, ada lagi mayat yang datang," papar Baso'.
Sementara itu diKalimantan Tengah, masyarakat adatDayakKaharingan yang tinggal di Tumbang Malahoi, Rungan, Gunung Mas, menggelar ritual manggatang sahur lewu, sebuah ritual minta pertolongan dan perlindungan dari patahu, para leluhur penjaga kampung. Mereka juga menggelar ritual mamapas lewu, ritual untuk membersihkan kota atau kampung dari pengaruh jahat atau hal hal buruk yang terjadi akibat tindakan manusia maupun roh roh jahat. Ritual semacam ini, oleh Thomas Edison, salah satu warga yang ikut dalam ritual yang digelar pada 25 Maret silam sebagai bahajat.
"Kalau untuk kondisi sekarang, bahajat agar penyakit namanya peres kami bilang di sini agar tidak sampai ke desa Tumbang Malahoi. Sehingga kami menggatang sahur untuk melindungi lewu kami dari wabah penyakit itu," ujarnya. Biasanya, ritual itu diikuti oleh seluruh masyarakat adat yang tinggal di suatu wilayah, akan tetapi keharusan jaga jarak sosial, atau sosial distance untuk mencegah penularan virus corona ritual itu hanya diikuti oleh sebagian kecil masyarakat Dayak Kaharingan di Tumbang Malahoi. "Karena ada pembatasan untuk kumpul orang banyak, yang membagi beras marua dan kain kuning sebagai tanda, ketua RT masing masing," jelas Thomas.
Sementara itu, praktik social distance ternyata sudah lama dilakukan oleh masyarakat adat Orang Rimba diJambi. Bahkan jauh sebelum virus corona mewabah Mereka menyebutnya dengan besesandingon, atau tradisi yang selama ini mereka lakukan untuk menghentikan segala penyakit menular.
Pegiat hak masyarakat adat Orang Rimba, Saur Marlina Manurung, menjelaskan dalam praktik social distance ala Orang Rimba ini, si tersangka sakit harus mengisolasi diri selama beberapa hari. Oleh Orang Rimba, pemisahan orang yang sakit ini disebut disesandingko , atau dipisahkan. Mereka tidak boleh berbaur dengan yang sehat.
Tradisiini tidak hanya berlaku bagi Orang Rimba saja, namun orang dari luar yang bertandang ke wilayah tinggal Orang Rimba. Mereka dipisahkan dari orang yang sehat, bahkan dengan jarak hingga 50 meter. Biasanya, mereka ditempatkan di lokasi yang lebih ke hilir sungai, sementara yang sehat tinggal di hulu sungai. Sehingga, air yang dipakai oleh orang yang sakit, tidak mengalir ke mereka yang sehat.
"Di rimba itu kan semua orang tinggal di dekat sungai, dan itu ada konsep hulu hilir. Jadi orang kalau baru datang, dia harus tinggal di paling hilir dari semua orang," jelas perempuan yang akrab disapa Butet ini. "Jadi mereka percaya belum tentu orang ini sakit, tapi orang ini bisa jadi membawa penyakit walaupun orang ini nggak sakit," lanjutnya. Dia menambahkan, apapun yang dipegang si sakit tidak boleh disentuh, bahkan jalur di hutan yang ia lewati saat kembali dari luar rimba menuju ke dalam rimba, akan ditabukan akan dilewati.
"Mereka akan bikin jalur setapak baru," lanjutnya. Butet mengatakan, kesehatan bagi Orang Rimba sangat menjadi prioritas. Hal ini tampak dari tiap kali sesama Orang Rimba bertemu, yang ditanya adalah kondisi kesehatan mereka.
"Apa mikai bungaron , apakah kamu sehat?," kata dia. Sementara itu, sejumlah wargaSolodi Jawa Tengah menggelar ritual tolak bala untuk mengusir wabah virus corona yang sedang melanda. Selain memasaksayur lodeh, ada juga warga yang memasang sesaji gantungan daun alang alang dan daun opo opo hingga cukur gundul.
Salah satu keluarga Keraton Kasunanan Surakarta, GKR Wandansari mempercayai bahwa pandemi virus corona Covid 19 disebut sebagai pagebluk, istilah orang Jawa untuk menyebut wabah penyakit. Oleh sebab itu, sesuai dengan kepercayaan para leluhur, dilakukan ritual tolak bala atau tolak bahaya untuk menghalau pagebluk. "Kalau Keraton Yogya tolak bala dengan sayur lodeh, kalau saya dengan ritual memasang godong (daun) alang alang dan godong opo opo," ujar GKR Wandansari pada BBC News Indonesia .
Perempuan yang akrab disapa Gusti Moeng ini menuturkan dua jenis daun itu sering digunakan dalam berbagai ritual tradisi masyarakat Jawa seperti halnya tuwuhan yang dipasang di bagian kiri dan kanan pintu saat menggelar hajatan pernikahan. Baginya, daun alang alang dan daun opo opo yang digabung menjadi satu itu memiliki simbol yang penuh makna. "Ya, artinya ora ono alangan opo opo (supaya tidak terjadi apa apa). Terus kalau ada yang jelek jelek ke kita itu di alangi (dihalangi)," ungkap Gusti Moeng yang merupakan putri mending Raja Sinuhun Pakubuwana XII.
Sesaji tolak bala itu digantung di depan pintu. Menurutnya adanya sesaji daun alang alang dan daun opo opo itu diharapkan bisa menolak pagebluk yang masuk ke rumah. "Digantung di atas pintu masuk. Tapi kalau di belakang terdapat pintu juga bisa dipasangi gantungan daun alang alang dan opo opo itu," terangnya. Pemasangan daun alang alang dan daun opo opo telah dilakukan sejak tanggal 15 Maret 2020 lalu.
Para abdi dalam Keraton yang tergabung dalam Paguyuban Kawula Keraton Kasunanan Surakarta (Pakasa) yang tersebar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, pun mengikuti ritual serupa. "Tapi serentak pemasangan tolak bala daun alang alang dan daun opo opo itu dilakukan pada tanggal 21 Maret 2020 lalu," sebutnya. Aksi tolak bala juga dilakukan di Kelurahan Gandekan, Jebres, Solo pada Senin (23/3/2020) lalu dengan memasak dan makan bersama sayur lodeh tujuh rupa.
Sayur lodehtujuh rupa itu terdiri dari kluwih, terung, kulit melinjo, waluh, daun so, tempe, dan cang gleyor bagi masyarakat Jawa memang sudah menjadi kepercayaan untuk tolak bala wabah maupun bencana yang terjadi. Warga Gandekan, Arik Rahmadani, mengatakan tradisi memasak sayur lodeh tujuh rupa merupakan tradisi yang turun temurun dari nenek moyangnya di kala pagebluk. "Selama itu baik dan positif kenapa tidak kita coba untuk membuat sayur lodeh tolak bala," kata dia.
"Kita ya percaya juga tidak, karena ini turunan dari nenek moyang. Dan makan bersama merupakan hal yang baik dan bentuk silaturahmi kita," lanjut Arief. Berbeda dengan Arief yang skeptis dengan khasiat sayur lodeh, warga yang lain, Eka Diana memercayai sayur tersebut sebagai penolak bala. "Jadi tujuannya untuk mengusir virus corona. Dan saya meyakini saja karena saya orang Jawa dan mengikuti ada Jawa," jelasnya.
Ritual tolak bala pun dilakukan oleh Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo yang mencukur gundul rambutnya bersama para pejabat pemerintah kota Solo yang lain. Baginya, cukur gundul bersama itu menurut kepercayaan orang Jawa sebagai salah satu cara menolak bala agar Solo terbebas dari wabah virus corona Covid 19. "Gundul itu kan simbol untuk membersihkan segala sesuatu kotoran. Kalau digundul itu cara membersihkannya kan lebih mudah," jelasnya.
Pakar antropologi yang juga peneliti Pusat Etnografi Komunitas Adat diYogyakarta, Yando Zakaria, memandang adat dan ritual yang dilakukan oleh masyarakat adat di tengah wabah, pada dasarnya adalah untuk menjaga keseimbangan. "Masyarakat adat dengan perkembangan kehidupan yang mereka hadapi dengan segala pengetahuan mereka tentang alam, pada umumnya memiliki prinsip kehidupan bagaimana menyeimbangkan, menjaga keseimbangan tiga arah, hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dan alam sekitar dan hubungan manusia dengan alam yang di luar jangkauan manusia," ujar Yando. Wabah penyakit, gagal panen, lanjut Yando, dianggap sebagai bencana oleh masyarakat adat.
Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika dalam kehidupan masyarakat adat ditemukan tradisi yang sebenarnya menjaga keseimbangan, atau memulihkan keseimbangan. "Intinya adalah bagaimana kehidupan manusia dan masyarakatnya selalu seimbang dengan mereka sesama manusia, dengan alam, dengan dunia yang lebih luas, katakanlah dunia ghaib atau supranatural yang tidak mereka bisa lihat, jelasnya. Tak hanya itu, menurut Yando, masyarakat adat kerap melakukan upaya preventif dengan memberlakukan tradisi tradisi yang mereka anggap tabu, atau pelarangan untuk melakukan sesuatu pada masa tertentu.
Sementara itu, Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AliansiMasyarakat AdatNusantara mengungkapkan, tradisi dan ritual yang dilakukan pada saat wabah atau bencana tak lepas dari apa yang dia sebut sebagai "memori kolektif". "Masyarakat adat kan juga punya memori kolektif tentang pandemi. Jadi apa yang saat ini bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi seratus tahun lalu," ujar Rukka. Dia menjelaskan, pada saat flu Spanyol mewabah di Tana Toraja pada abad lalu, membuat warga ketakutan karena wabah itu menewaskan banyak masyarakat adat Toraja.
Memori kolektif akan wabah yang terjadi sebelumnya, membuat masyarakat adat lebih mawas diri dalam menjaga keseimbangan dengan alam dan sesama manusia. Lebih lanjut, Rukka menjelaskan bahwa jika wabah virus corona semakin meluas, masyarakat adat menjadi salah satu kelompok yang sangat rentan. Kenapa masyarakat adat menjadi sangat rentan, karena selama ini kondisi geografis masyarakat adat yang sulit terjangkau, dan minim fasilitas layanan kesehatan dari pemerintah.
"Kalau sampai masyarakat adat kena Covid 19, dan banyak meluas, bisa dipastikan akan banyak sekali masyarakat adat yang mati tak terurus. Jadi ini bahaya sekali," tegas Rukka. Senada, pegiat hak hak Suku Orang Rimba,Butet Manurungmengungkapkan ketika masyarakat adat semakin tergantung pada dunia luar, mereka akan semakin rentan. Sebaliknya, ketika mereka semakin sedikit bergantung dengan dunia luar, maka mereka semakin kuat.
"Imunitas juga sama, semakin dia tergantung dengan makanan dari dunia luar, imunitasnya semakin rendah. Semakin jelek sumber daya alamnya, imunitasnya semakin rendah," ujarnya. "Masyarakat adat sekarang lebih rentan ketimbang 20 tahun lalu," kata dia.