Uncategorized

5 Buku Sapardi Djoko Damono Paling Populer, Hujan Bulan Juni hingga Yang Fana Adalah Waktu

Sastrawan Indonesia, Sapardi Djoko Damono dikabarkan menghembuskan napas terakhirnya di usia ke 80, Minggu (19/7/2020) sekira pukul 09.17 WIB. Kepergian Sapardi Djoko Damono menjadi duka tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Pria kelahiran Solo, 20 Maret 1940 ini sangat patut dijadikan panutan dalam kancah literasi Indonesia, sebab begitu banyaknya penghargaan dari dalam dan luar negeri yang ia tuai.

Karya Sapardi tidak hanya sebatas puisi puisi, Ia juga telah menerbitkan sejumlah buku puisi, esai, fiksi, bahkan menerjemahkan karya sastra sejak 1969. Selain menciptakan puisi, ia juga telah menerbitkan sejumlah buku puisi, esai, fiksi, bahkan menerjemahkan karya sastra sejak 1969. Berikut lima buku terbaik karya Sapardi Djoko Damono versi :

Hujan Bulan Juni merupakan salah satu novel trilogi dari Sapardi yang paling banyak diburu. Manis getir kisah Sarwono dan Pingkan dituangkan begitu penuh makna. Hujan Bulan Juni dilirik untuk diadaptasi ke layar lebar, yang dengan apik diperankan oleh Adipati Dolken dan Velove Vexia.

Sebelum beralih menjadi novel, Hujan Bulan Juni terlebih dahulu terbit merupa kumpulan puisi, yang kemudian juga disisipkan ke dalam novel. Kumpulan puisi Hujan Bulan Juni telah dialihbahasakan ke dalam empat bahasa yaitu Inggris, Jepang, Arab, dan Mandarin. Membahas trilogi Hujan Bulan Juni , kisah Sarwono dan Pingkan usai dalam novel ini, setelah sebelumnya dijembatani oleh Pingkan Melipat Jarak .

Saat novel ini terbit, peluncurannya diwarnai oleh pembacaan sajak dan musikalisasi puisi dari sajaknya yang dibawakan oleh Arini Kumara, Umar Muslim, dan Tatyana Soebianto. Trilogi ini mendapatkan penghargaan dalam Anugerah Buku ASEAN 2018 di Malaysia. Buku ini dinilai sebagai karya sastra dengan mutu tinggi oleh para panel penilai profesional.

Pada 2017 lalu, bertepatan dengan usianya yang menginjak 77, Sapardi tidak melewatkan kesempatan untuk merayakannya dengan menerbitkan tujuh buku sekaligus. Masing masing satu novel dan enam kumpulan puisi. Pingkan Melipat Jarak (novel kedua dari Trilogi Hujan Bulan Juni), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?, Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita, Kolam, Namaku Sita, Duka Mu Abadi, dan Ayat ayat Api .

Keenam buku kumpulan puisi ini mulanya sudah pernah terbit. Buku ini berisi 43 puisi Sapardi pada tahun 1967 1968 dan menjadi salah satu yang paling diminati. Lewat buku ini Sapardi sukses menunjukkan keinginannya untuk mengajak mereka di luar sana yang belum dekat dengan sastra.

Buku ini merupa ajakan yang menyertakan contoh juga penjelasan. Agar pembaca mengerti ‘gaya’ yang seringkali digunakan oleh para penyair dalam ber rima. Pada 2017 lalu, Manuskrip Sajak Sapardi lahir mewarnai kebutuhan literasi Indonesia.

Buku ini disebut sebut sebagai harta karun yang berharga. Di dalamnya terdapat corat coret sajak Sapardi semasa muda hingga dewasa. Buku ini dirancang serupa album kolase gambar yang dibagi dalam periode tahunan, sejak 1958 sampai 1968, juga 1970 an.

Dalam Manuskrip Sajak Sapardi kita dapat melihat sajak sajak indah Sapardi yang spontan, mengalir apa adanya, sebelum lahir dalam bentuk buku. Sebagai tambahan, berikut tujuh puisi cinta karya Sapardi Djoko Damono paling romantis dan menyentuh hati yang dikutip dari : “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada” Puisi Aku Ingin menjadi salah satu karya Sapardi yang beralih wahana menjadi lagu, atau biasa disebut musikalisasi puisi. “Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi, tapi dalam bait bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti, suaraku tak terdengar lagi, tapi di antara larik larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati, pada suatu hari nanti, impianku pun tak dikenal lagi, namun di sela sela huruf sajak ini, kau tak akan letih letihnya kucari.” Puisi ini dapat menggambarkan seolah alasan Sapardi masih menulis meski diusianya yang senja.

“Hanya suara burung yang kau dengar dan tak pernah kaulihat burung itu tapi tahu burung itu ada di sana Hanya desir angin yang kaurasa dan tak pernah kaulihat angin itu tapi percaya angin itu di sekitarmu Hanya doaku yang bergetar malam ini dan tak pernah kaulihat siapa aku tapi yakin aku ada dalam dirimu”

“mencintai angin harus menjadi siut mencintai air harus menjadi ricik mencintai gunung harus menjadi terjal mencintai api harus menjadi jilat Mencintai cakrawala harus menebas jarak Mencintai Mu harus menjelma aku”

“Jangan kauulang lagi menjenguk wajah yang merasa sia sia, yang putih yang pasi itu. Jangan sekali kali membayangkan Wajahmu sebagai rembulan. Ingat, jangan sekali kali. Jangan.

Baik, Tuan.” Yang fana adalah waktu. Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. "Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu. Kita abadi Tak ada yang lebih tabah Dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak Dari hujan bulan Juni Dihapusnya jejak jejak kakinya Yang ragu ragu di jalan itu Tak ada yang lebih arif Dari hujan bulan Juni Dibiarkannya yang tak terucapkan Diserap akar pohon bunga itu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *